Belakangan ini, istilah playing victim semakin populer di dunia maya dan media sosial, khususnya di kalangan anak-anak muda. Kesadaran akan kesehatan mental yang semakin baik membuat banyak orang mulai memahami bahwa perilaku playing victim adalah tindakan yang toksik dan termasuk perilaku red flag.
Banyak yang kurang menyukai orang yang kerap playing victim karena mereka cenderung meyakini bahwa semua masalah dalam hidup mereka berasal dari orang lain. Mereka juga kerap tidak mau tahu dengan masalah yang datang dari diri mereka sendiri.
Dalam artikel ini, kita akan membahas apa itu playing victim, ciri-ciri playing victim hingga cara menghadapi orang playing victim. Simak sampai tuntas, ya!
Victim mentality atau playing victim adalah perilaku ketika seseorang merasa terus menerus menjadi korban dalam situasi tertentu. Mereka cenderung menyalahkan orang lain atas nasib buruk mereka tanpa mengambil tanggung jawab pribadi. Konsep playing victim dalam hubungan ini menciptakan dinamika negatif, menghambat pertumbuhan bersama, dan merugikan komunikasi yang sehat. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan dalam tanggung jawab dan dapat merusak kedekatan antar individu.
Menurut Judith Orloff, orang dengan victim mentality selalu percaya pada 3 hal. Ciri-ciri playing victim itu adalah pemikiran sebagai berikut:
Setelah mengetahui apa itu playing victim, hal berikutnya yang juga perlu kamu ketahui adalah alasan mengapa mereka melakukannya. Penyebab playing victim yang dilakukan oleh setiap orang sebenarnya berbeda-beda. Beberapa alasan yang mungkin menjadi latar belakang dari tindakan ini antara lain:
Orang seringkali berperilaku playing victim sebagai mekanisme mengatasi trauma masa lalu. Pengalaman traumatis menciptakan perlindungan psikologis di mana mereka meyakini bahwa berperan sebagai korban adalah cara melindungi diri dari rasa sakit emosional. Ini menjadi suatu bentuk coping yang membuat mereka merasa lebih aman secara psikologis. Meskipun pada kenyataannya, hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan pribadi dan hubungan yang sehat dengan orang lain.
Playing victim juga kerap dilakukan oleh pelakunya sebagai alat manipulasi untuk mengontrol situasi atau orang lain. Dengan berperan sebagai korban, mereka bisa memanfaatkan simpati orang lain untuk memenuhi keinginan tanpa menghadapi konsekuensi. Ini merupakan strategi manipulatif yang memungkinkan mereka meraih keuntungan tanpa bertanggung jawab atas tindakan mereka dan bisa menciptakan dinamika yang tidak sehat dalam interaksi sosial.
Dengan menggambarkan diri sebagai korban, mereka mencari simpati dan dukungan, berharap meredakan ketakutan akan penolakan. Ini menjadi bentuk perlindungan diri untuk mengatasi ketidakamanan emosional dan mendapatkan perhatian positif dari orang lain.
Mereka yang memiliki rasa rendah diri (low self-esteem) cenderung bertindak seolah-olah mereka adalah korban untuk mencari perhatian dan validasi positif. Dengan meyakini bahwa menjadi korban dapat memperoleh dukungan, mereka berharap mendapatkan pengakuan dari orang lain. Ini dapat menjadi cara bagi mereka untuk meningkatkan rasa percaya diri mereka.
Ada beberapa contoh tindakan yang menggambarkan bahwa seseorang sedang melakukan playing victim. Apa saja contohnya?
Dalam hubungan baik hubungan pacaran atau dalam masalah rumah tangga, orang yang bertindak playing victim bisa terlihat ketika dia selalu berusaha menyalahkan pasangannya tanpa refleksi diri. Individu tersebut enggan melakukan introspeksi, menempatkan segala masalah pada pasangan tanpa mengakui peran atau tanggung jawab pribadi.
Dengan menutup mata terhadap kontribusi mereka dalam situasi tersebut, mereka membuat hubungan menjadi tidak sehat dan pada akhirnya akan melukai pasangannya.
Contoh perilaku playing victim termasuk kebiasaan terus-menerus mengeluh tanpa berupaya mengatasi masalah atau mencari solusi. Individu yang punya victim mentality akan fokus pada kesulitan hidup mereka, tetapi jarang melakukan tindakan konkret untuk mengubah situasi. Mereka lebih memilih mengeluh daripada mengambil inisiatif, menciptakan lingkungan yang negatif bagi diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitarnya.
Playing victim juga bisa terjadi ketika seseorang memanfaatkan empati pasangan untuk menguasai hubungan. Mereka terus-menerus mengekspresikan kesedihan atau ketidakmampuan mereka, memanfaatkan simpati untuk membuat pasangan merasa bersalah. Mereka akan memaksa pasangan untuk terus memenuhi berbagai permintaan dan tuntutan, mengambil kendali tanpa benar-benar menyelesaikan masalah atau memberikan kontribusi pada kesehatan hubungan.
Contoh tindakan playing victim juga terlihat dari tindakan ingin selalu diperhatikan. Mereka mengekspos diri sebagai korban dengan cerita penderitaan, berupaya menarik simpati dan perhatian orang lain. Tindakan ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan akan perhatian dan dukungan emosional dari lingkungan sekitarnya.
Playing victim terlihat saat seseorang enggan bertanggung jawab atas tindakan atau keputusannya. Mereka cenderung menghindari konsekuensi negatif dengan meletakkan diri sebagai korban, mengabaikan tanggung jawab pribadi, dan mencari pembenaran eksternal untuk menghindari akibat dari tindakan mereka.
Playing victim termanifestasi dalam bentuk tindakan menyalahkan masa lalu secara konstan. Orang yang terlibat dalam perilaku ini menggunakan masa lalu sebagai pembenaran tanpa usaha untuk belajar atau tumbuh. Mereka enggan mengatasi tantangan saat ini dan terjebak dalam siklus menyalahkan masa lalu tanpa perkembangan positif.
Contoh tindakan playing victim lainnya adalah selalu berusaha mengancam orang lain, termasuk pasangannya untuk mengakhiri hubungan atau mengekspresikan kesedihan yang mendalam. Tujuannya adalah untuk memanipulasi orang lain dan membuat mereka memenuhi keinginannya.
Bagi orang yang kerap melakukan tindakan playing victim, kritikan bukanlah sesuatu yang ingin mereka dengarkan. Bagi mereka, masukan yang sifatnya konstruktif sekalipun akan dianggap sebagai personal attack.
Berhadapan dengan orang yang terus-menerus bertindak seolah-olah mereka adalah korban merupakan sesuatu yang melelahkan. Lalu, apa cara menghadapi orang playing victim yang bisa kamu lakukan, terutama jika orang tersebut adalah orang terdekat?
Cobalah lakukan komunikasi secara terbuka dengan orang tersebut. Dengarkan dengan penuh perhatian, tunjukkan pemahaman, dan dorong mereka untuk berbicara lebih rinci tentang perasaan mereka. Ini memungkinkan pemahaman mendalam dan mendorong refleksi pribadi.
Hadapi orang pasanganmu yang suka playing victim dengan mencoba memahami perspektif dan emosi mereka. Hindari menilai atau mengkritik secara langsung, dan berusahalah untuk merespons dengan empati dan pengertian. Memahami latar belakang atau pengalaman masa lalu yang mungkin mempengaruhi pola pikir mereka dapat membuka jalan untuk pemahaman yang lebih baik.
Sampaikan empati terhadap perasaan mereka, namun pastikan untuk tetap menjaga ruang bagi perasaan dan kebutuhanmu sendiri. Ini menciptakan keseimbangan yang penting dalam hubungan.
Dorong pasangan untuk merenung tentang peran dan kontribusi mereka dalam situasi tertentu. Dengan memotivasi tanggung jawab pribadi, diharapkan dapat ini bisa mengurangi kecenderungan mereka untuk berperan sebagai korban dan membuat hubunganmu dengannya bisa berjalan ke arah yang lebih positif.
Ajak pasangan untuk mencari solusi bersama dalam mengatasi masalah. Keterlibatan mereka dalam menemukan jalan keluar tidak hanya memberikan kontrol positif, tetapi juga mengurangi kecenderungan untuk berperilaku playing victim.
Jika pola playing victim terus berlanjut, pertimbangkan untuk mencari bantuan profesional, seperti konseling bersama atau konseling pernikahan online bagi pasangan yang sudah berumah tangga. Konselor pernikahan atau psikolog dapat membantu memfasilitasi komunikasi yang sehat dan memberikan pandangan objektif, membantu pasangan dan kamu sendiri untuk membangun hubungan yang lebih positif.
Baca Juga: Jangan Bingung Pilih Psikolog, Ini 18 Psikolog Terbaik di Jakarta!
Bagi kamu yang memiliki pasangan dengan masalah playing victim atau masalah lain seperti self-loathing, layanan konseling online di Grome bisa jadi solusi untukmu. Kami akan menghubungkanmu dengan tenaga konselor berpengalaman untuk memperoleh sudut pandang baru dan solusi bagi berbagai masalah mentalmu.
Ditulis oleh
Friyanka K