Broken home merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keluarga yang tidak lagi utuh. Ketidakutuhan keluarga ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti perselingkuhan, perceraian, kematian salah satu orang tua, atau masalah rumah tangga yang tidak terselesaikan.
Broken home dapat berdampak negatif bagi anak-anak yang mengalaminya. Dampak tersebut dapat berupa masalah emosional, perilaku, dan akademik. Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan masyarakat untuk memahami broken home dan dampak yang ditimbulkannya.
Psikiater dan psikoterapis terkemuka, Frank Anderson, memberikan perspektifnya mengenai konsep "Broken Home" di Verywell Mind. Anderson menjelaskan bahwa istilah ini merujuk pada situasi di mana hubungan dalam sebuah keluarga tidak sehat. Dampaknya, anak seringkali menjadi 'korban' dari perceraian orang tua mereka, yang sayangnya dapat menyebabkan cap buruk bagi mereka di mata masyarakat dan memengaruhi kondisi psikologis mereka.
Psikolog anak, Ajeng Raviando, Psi, berpendapat bahwa stigma terhadap anak-anak dari keluarga broken home telah mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun demikian, penting bagi orang tua untuk membimbing anak-anak mereka dengan meyakinkan bahwa mereka tetap memiliki potensi masa depan yang cerah. Upaya ini dilakukan agar anak-anak tidak merasa terpuruk dalam depresi atau kecemasan yang berlebihan.
Anak yang mengalami situasi broken home biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa penyebab broken home meliputi:
Perceraian orang tua menjadi salah satu faktor utama yang dapat menimbulkan luka emosional pada anak-anak. Mereka sering kali merasa bingung dalam memilih pihak mana yang seharusnya mereka dukung atau bersama siapa mereka seharusnya tinggal, apakah itu ayah atau ibu. Perceraian dapat dipicu oleh berbagai faktor, termasuk masalah keuangan keluarga yang sulit diatasi.
Kematian salah satu orang tua juga dapat menjadi pemicu anak mengalami situasi broken home. Terutama ketika keluarga tidak mampu mengelola perpisahan yang mendadak akibat kematian, anak-anak dapat mengalami dampak yang signifikan. Kemampuan mereka dalam mengatasi perasaan mereka akan sangat mempengaruhi apakah situasi broken home dapat berkembang dan berdampak negatif pada kesejahteraan anak.
Ketidaksiapan menjadi orang tua merupakan penyebab lain dari broken home. Beberapa orang tua mungkin masih memiliki sifat egois dan belum sepenuhnya matang. Masalah-masalah yang tidak terselesaikan dengan baik dapat memicu konflik dalam rumah tangga, akhirnya berujung pada perceraian dan menciptakan situasi broken home bagi anak-anak.
Kekerasan fisik, seksual, atau emosional yang diterima anak dari orang tua dapat menjadi penyebab lainnya dari situasi broken home. Terutama jika orang tua tidak mau meminta maaf atas tindakan kekerasan mereka dan keluarga terus menerus berada dalam keadaan konflik, kedua faktor ini dapat berkontribusi pada kerusakan kesehatan mental anak-anak, memperburuk situasi broken home dalam kehidupan mereka.
Situasi broken home seringkali berdampak pada rendahnya rasa percaya diri dan harga diri anak, yang dapat berlanjut hingga masa dewasa. Mereka mungkin merasa rendah dan percaya bahwa kehidupan mereka lebih sulit dibandingkan dengan orang lain. Dampak ini dapat menciptakan kepribadian yang anti-kritik, agresif, pemarah, dan cenderung menjadi antisosial ketika dewasa.
Kesulitan dalam membina hubungan dan komitmen adalah salah satu dampak broken home. Pengalaman broken home membuat anak-anak enggan untuk berkomitmen dan sulit mempercayai orang lain. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran mereka terhadap kemungkinan mengalami hal serupa seperti orang tua mereka, sehingga mempersulit mereka untuk memulai hubungan yang mendalam.
Pengalaman trauma masa lalu meningkatkan risiko munculnya gangguan mental, seperti depresi dan kecemasan berlebihan di masa dewasa. Anak-anak yang mengalami broken home juga bisa mengalami kesulitan tidur atau insomnia, serta cenderung menjadi pendiam dan memiliki rasa rendah diri.
Pola asuh dari situasi broken home dapat berlanjut hingga dewasa, meningkatkan potensi perilaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Terutama ketika anak menjadi saksi langsung terhadap kekerasan yang dilakukan oleh salah satu orang tua, pengalaman tersebut dapat membekas hingga dewasa. Jika mereka menghadapi masalah dalam keluarga mereka sendiri, mungkin cenderung melepaskan emosi dengan menggunakan kekerasan terhadap pasangan mereka.
Untuk melarikan diri dari rasa sakit, mereka berisiko terjerumus dalam perilaku adiktif seperti pergaulan bebas, penggunaan narkoba, perjudian, atau konsumsi minuman keras. Narkoba dan minuman keras sering dijadikan pelarian, sehingga beberapa dari mereka mungkin mencari 'kesenangan' dengan cara yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
Dampak psikologis dari situasi broken home sering membuat mereka sulit fokus dan mencapai prestasi optimal di tempat kerja. Mereka cenderung bekerja dengan kurang maksimal, dan kondisi keuangan mereka sering kali buruk karena sebagian besar sumber daya keuangan mereka terbuang untuk kesenangan yang hanya bersifat sementara.
Ketika seseorang menghadapi situasi broken home, terutama bagi anak-anak, segalanya bisa terasa sulit dan suram. Namun, ada beberapa cara yang dapat membantu mengurangi dampak negatif dari situasi ini terhadap perkembangan anak ketika mereka tumbuh dewasa:
Dukungan emosional memiliki peran besar dalam mengurangi dampak broken home. Anak-anak dari keluarga broken home sering merasa kesepian dan kurang dicintai. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk memberikan waktu dan perhatian, mendengarkan keluh kesah anak, dan memberikan semangat agar mereka merasa dicintai.
Melibatkan anak dalam pengambilan keputusan membantu mengurangi dampak broken home. Anak-anak dari keluarga broken home sering merasa tidak memiliki suara atau nilai. Oleh karena itu, orang tua perlu melibatkan anak dalam keputusan, termasuk hak asuh setelah perceraian. Ini akan memberikan anak rasa dihargai dan kontrol atas hidupnya.
Meningkatkan komunikasi dengan anak merupakan langkah efektif untuk mengurangi dampak broken home. Anak-anak dari keluarga broken home sering merasa sendirian dan kurang memiliki tempat untuk berbicara. Oleh karena itu, penting untuk membangun komunikasi terbuka dengan anak, menciptakan ruang di mana mereka merasa nyaman dan percaya untuk berbagi.
Mengingat risiko trauma psikologis, memberikan konseling psikologis pada anak menjadi langkah yang signifikan. Konseling psikologis dapat membantu anak mengatasi trauma dan mengembangkan keterampilan koping yang sehat.
Membangun dukungan dari kerabat dekat, seperti kakek dan nenek, dapat membantu mengurangi dampak broken home. Anak-anak dari keluarga broken home sering merasa kesepian, dan melibatkan kerabat dekat dapat memberikan dukungan emosional dan kasih sayang yang sangat dibutuhkan.
Melihat meluasnya tantangan yang dihadapi anak-anak broken home, menjadi jelas bahwa mereka memerlukan dukungan yang mencakup berbagai aspek.
Sistem dukungan dari keluarga, kerabat dekat, masyarakat sekitar, dan layanan konseling online, seperti yang tersedia di Grome, memiliki peran penting dalam membantu anak-anak melewati situasi sulit ini. Layanan konseling online menjadi alternatif yang dapat diakses secara fleksibel, memberikan ruang bagi anak-anak untuk mengungkapkan perasaan mereka dan mendapatkan pandangan yang mendukung. Dengan adanya dukungan ini, diharapkan anak-anak dapat mengatasi dampak emosional dari situasi broken home dan membuka jalan menuju pemulihan yang lebih baik.
Ditulis oleh
Friyanka K