Hidup di era modern saat ini, kita dituntut untuk serba cepat dan sibuk. Sehari-hari berjalan dengan sangat cepat, sampai terkadang kita gak sadar kalau hari sudah malam. Rasanya waktu cuma tersisa untuk istirahat sejenak (itu pun kalau sempat), lalu harus bangun lagi untuk beraktivitas. Bangun, berangkat aktivitas, kerja atau belajar, pulang, lanjut kerja, makan, tidur. Begitu terus.
Kalau dibayangin harus melakukan rutinitas ini sampai tua, kok berat ya? Cuma mau menikmati hidup kok perjuangannya harus segininya, ya. Gak cuma berat, tapi juga terasa panjang. Mau berhenti? Tapi usia orang tua makin tua, teman-teman udah duluan sukses, dan mimpi masa kecil belum kesampaian. Sampai kadang terpikir “Buat apa sih kayak gini?”

Di tengah rasa lelah dan kejenuhan itu, banyak anak muda mulai mempertanyakan: “Apa benar, hidup ideal itu harus terus dikejar ke atas?” Saat ini, kayaknya yang jadi tujuan hidup anak muda bukan lagi tinggal di apartemen mewah, punya mobil sport bagus yang harganya miliaran, atau uang gak berseri. Tapi justru bisa hidup nyaman di desa kecil—punya rumah sederhana dengan tanah luas untuk kebun atau sawah, sehari-hari ngurus ternak yang hasilnya dijual ke pasar, lalu ngopi pagi-pagi sambil memandangi hamparan sawah dan gunung dengan udara segar. Di masa tua, kita cuma pengen ngerasain yang namanya slow living, gak diburu-buru, gak dituntut, gak dikasih deadline.
Kalau untuk hidup nyaman di masa tua itu gak cukup dicapai dengan gaji 1 pekerjaan, maka 2-3 pekerjaan pun rela dijalanin. Kalo buat mencapai hidup tenang di desa kecil sambil ngurus ternak itu kita harus kerja mati-matian dulu, itupun akan kita lakukan.