Toxic!
toxic-

Gak Boleh Dibiasakan, Coba Lakukan Ini Untuk Menghadapi Toxic Femininity!

“Dandan yang feminin dong. Pake rok, dress. Kamu kan perempuan, masa kaos sama celana terus sih?!”

“Eh, perempuan gak usah terlalu banyak ngomong lah… Kalem aja”

“Kok childfree? Perempuan sudah kodratnya mengandung dan melahirkan”

“Ealah, kok bapaknya yang nyuapi makan? Harusnya kan ibunya yang suapin. Itu tugas ibu”

 

Celetukan-celetukan seperti demikian masih ada, loh dan masih suka terdengar di sekeliling kita. Celetukan tersebut seperti ingin menyuarakan bahwa sikap feminine mutlak HARUS dimiliki perempuan. Kalo kelihatan gak feminine sedikit, pasti langsung mengundang komentar netizen, ya. Nah, celetukan-celetukan itu adalah bentuk dari toxic femininity.

Bentuk-bentuk toxic femininity sangat beragam dan dapat terjadi di berbagai situasi dalam kehidupan kita sehari-hari. Toxic femininity bisa saja terjadi di sekolah, kantor/ tempat kerja, dalam hubungan romantis dengan pasangan, di rumah, sosial media, dll. Sebelum lebih jauh, yuk kita tilik dulu, yang dimaksud dengan feminine sendiri tuh apa sih?


Feminine merupakan sifat-sifat yang secara tradisional dikaitkan dengan sifat-sifat bawaan perempuan, seperti: lebih emosional, lebih lembut, penurut, pasif, menerima saja, lebih “nurturing” (mengasuh, mendidik, membina). Sementara toxic femininity adalah sebuah tuntutan bahwa seseorang HARUS/ DIPAKSA menampilkan perilaku, sifat, karakter, kemampuan feminine untuk kepentingan orang lain (laki-laki, dalam budaya patriarki). 

Monica Vermani, seorang psikolog klinis mengatakan bahwa tidak ada salahnya memiliki sifat-sifat feminine. Hanya saja hal ini disebut “toxic” jika seseorang sudah merasa “DIPAKSA” atau menampilkan sifat tersebut dengan “MENGABAIKAN KEBUTUHAN” nya sendiri demi kebutuhan orang lain.






Apa sih dampak dari Toxic Femininity?

Namanya orang dipaksa untuk menampilkan perilaku tertentu secara berkala/ terus-menerus, ya tentu memberikan dampak yang tidak nyaman ya. Berikut dampak dari toxic femininity:

  1. Meningkatkan level stress -> karena diminta untuk tampil tidak autentik/ asli sesuai dengan sifat kepribadiannya

  2. Memunculkan perasaan tidak berdaya -> karena terbiasa untuk menjadi pribadi yang “manut saja”

  3. Memunculkan ketergantungan pada laki-laki/ pihak yang dianggap lebih memiliki power -> karena selalu merasa tidak berdaya, maka ia merasa hanya pihak tertentu yang berwenang terhadap keputusan-keputusannya.

  4. Mengembangkan perasaan cemas, depresi, merasa terisolasi

  5. Mengembangkan patokan-patokan yang tidak realistis

  6. Tidak berani membuat keputusan untuk dirinya sendiri, menghindari konfrontasi, merasa diri selalu kurang

  7. Kehilangan identitas diri/ kemampuan natural diri

1. 


Toxic femininity masih nyata terjadi di sekeliling kita dalam berbagai bentuk, namun kita masih dapat melakukan beberapa hal untuk mengatasi hal ini, di antaranya dengan:

  1. Jika kamu menyadari bahwa ini terjadi pada dirimu

  1. Sadari dan temukan sumber datangnya toxic femininity -> Dari mana pertama kali kamu merasa dituntut menjadi/ menampilkan “femininitas”. Apakah dari orang tua? Lingkungan? Teman? Pacar? Sosial media? Hal ini membantumu untuk menguraikan asal muasal dari pemahamanmu tentang femininitas ini.

  2. Refleksikan kembali motivasimu -> Ketika kamu melakukan hal-hal yang dianggap “feminine” ini apa motivasimu? Apakah kamu memang ingin melakukannya sendiri atau kamu dipaksa dan akhirnya mengabaikan kepentinganmu sendiri?

  3. Belajar untuk memvalidasi perasaanmu -> Jujurlah pada dirimu saat ada perasaan yang muncul dan validasi perasaanmu: “gak apa-apa merasa marah”, “aku sudah lakukan yang terbaik”, “wajar merasa marah ketika keinginanmu tidak berjalan semestinya”, dll.

  4. Sadari kapan dan saat apa kamu dapat menjadi dirimu sendiri? Saat-saat inilah yang dapat membuatmu berjarak dari lingkungan atau pihak yang menekanmu untuk menampilkan femininitas yang mereka inginkan.

  5. Sadari sifat aslimu dan kemampuanmu -> Toxic femininity ini dapat membuatmu kehilangan identitas dan kemampuan yang sebenarnya. Cobalah untuk mencari tahu sifat aslimu, ataupun kemampuanmu dan fokuslah untuk mengembangkan hal yang positif.

  6. Jika toxic femininity ini terjadi di lingkungan kantor ataupun lingkungan di luar significant others, pertimbangkan kembali kesejahteraan mentalmu, apakah kamu berkembang di tempat tersebut dengan banyaknya batasan dan tuntutan yang diberikan kepadamu?

  7. Bijaksanalah memilih bacaan, tontonan, dan media-media yang ingin kamu konsumsi -> yang kamu baca, ikuti, tonton, bicarakan setiap hari akan memengaruhi cara pikirmu yang kemudia terwujud dalam perilakumu.


  1. Jika ini terjadi pada orang lain, dan kamu menyadarinya:

  1. Tanyakan kabar, situasinya, dan perasaannya terhadap kondisi toxic yang ia alami. Hal ini dapat kita lakukan sesuai persetujuannya atau jika ia sudah bersedia bercerita.

  2. Dengarkan dengan aktif, usahakan melontarkan pertanyaan terbuka, hindari memotong kalimatnya, hindari melakukan judgement, tunjukkan empati dengan gestur bahwa Anda mendengarkannya dengan baik.

  3. Berikan dukungan melalui kesediaan waktu anda mendengarkan ceritanya dan dorong dirinya juga untuk melakukan hal-hal yang membuatnya rileks/ istirahat sejenak dari tuntutan hidup.

  4. Sarankan untuk berkonsultasi dengan ahli kapanpun ia membutuhkannya.

Pada masyarakat berbudaya patriarki seperti Indonesia, tidak bisa kita pungkiri situasi toxic femininity ini ada pada lingkup kehidupan kita. Ada hal-hal yang memang sulit untuk diubah dan membutuhkan proses yang panjang untuk mengubahnya. So, berfokuslah pada hal-hal yang bisa kita kendalikan dan kita lakukan secara maksimal. Bagi kita secara umum, marilah kita mencoba untuk:

  1. Tidak memandang orang lain berdasarkan stereotip tertentu

  2. Tidak judging orang lain sebelum mengenalnya lebih jauh

  3. Tidak memanfaatkan kekurangan atau kelemahan orang lain untuk kepentingan kita sendiri

  4. Bijaksana menentukan respon terhadap permintaan orang lain -> Jika memang tidak sesuai dengan kapasitas kita, kita tidak selalu harus bilang “IYA” atau memenuhi permintaan orang lain