Quiet Quitting : Fenomena dunia kerja yang jadi dilema
quiet-quitting--fenomena-dunia-kerja-yang-jadi-dilema

Quiet Quitting : Fenomena dunia kerja yang jadi dilema

Kalo dengar kata work-life balance, pasti langsung terbesit di otak bahwa itu adalah budayanya Gen-z. Tidak bisa dipungkiri memang banyak para pekerja yang berasal dari generasi tersebut memilih untuk lebih aware dan memprioritaskan kesehatan mental dibandingkan jenjang karir ataupun bonus kinerja.

Salah satu cara yang saat ini banyak dilakukan oleh banyak anak muda adalah quiet quitting. Istilah ini mulai populer sejak tahun 2022 di Amerika Serikat untuk menggambarkan para karyawan yang bekerja secukupnya tanpa mencari pujian, promosi, ataupun bonus. Menariknya, para karyawan di negara Jepang yang identik dengan budaya kerja keras dan loyal terhadap perusahaan pun sudah banyak melakukan praktek quiet quitting ini. Para anak muda di sana merasa bahwa mendedikasikan diri sepenuhnya bagi kantor merupakan hal yang tidak masuk akal. 

Secara psikologis, respon ini dapat dipahami sebagai bentuk strategi perlindungan diri secara psikologi, yakni upaya menjaga keseimbangan emosi dan harga diri dalam sistem kerja yang belum sepenuhnya responsif terhadap kebutuhan karyawan. Sebuah penelitian oleh Mynavi Career Research Lab yang berbasis di Tokyo, dikutip dari msn.com menyimpulkan bahwa sekitar 45% pekerja melakukan quiet quitting dan mayoritas berusia 20-an.

Sebenarnya, apakah quiet quitting itu? Apakah cara ini tepat untuk meningkatkan kualitas kesehatan mental atau malah lebih banyak merugikan perusahaan? Atau mungkinkah ini menjadi tanda bahwa struktur dan budaya kerja modern perlu lebih adaptif terhadap perubahan nilai dan ekspektasi generasi muda? Mari kita simak bersama!



Apa itu quiet quitting? 
Quiet quitting adalah sebuah prinsip dimana karyawan bekerja secukupnya sesuai dengan apa yang jadi deskripsi perannya tanpa ada inisiatif untuk mengambil tanggung jawab tambahan dan tidak berorientasi pada jenjang karir ataupun bonus terkait kinerja. Karyawan yang melakukan quiet quitting memilih untuk masuk tepat waktu, pulang sesegera mungkin, dan pasif dalam agenda meeting ataupun kegiatan kantor. 

Ada beberapa tanda yang menunjukkan kamu atau karyawanmu melakukan quiet quitting, yaitu
  • Menunjukkan kepasifan (tidak berpendapat atau berperan aktif) dalam agenda meeting
  • Menghindari kegiatan sosial kantor
  • Lebih sering izin sakit (absenteeism)
  • Datang dan pulang tepat waktu
  • Menolak melakukan pekerjaan di luar deskripsi tugasnya
  • Bekerja seadanya tanpa memberikan ide atau inovasi untuk meningkatkan kualitas hasil kerja
  • Kurang antusias dalam kesempatan promosi
  • Tidak melibatkan diri dalam percakapan dengan rekan kerja
  • Tidak membalas email atau pesan yang berhubungan dengan pekerjaan di luar jam kerja

Kenapa quiet quitting?
Pemicu utama dari quiet quitting adalah keinginan untuk me-time, adanya burnout atau kelelahan mental, dan kurang puasnya karyawan terhadap penghargaan dari perusahaan. Dalam konteks psikologi, kondisi ini sangat berkaitan dengan burnout yang ditandai oleh kelelahan emosional, depersonalisasi, serta berkurangnya rasa pencapaian pribadi (Maslach & Jackson, 1981). Quiet quitting menjadi salah satu bentuk coping mechanism yang dipilih individu untuk melindungi dirinya dari stres berkepanjangan dan tuntutan kerja yang dinilai berlebihan. 

Pada generasi yang lebih tua, para karyawan cenderung berdedikasi secara penuh bagi perusahaan demi jenjang karir dengan gaji yang besar dan pantas untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup dan keluarga. Hanya saja, saat ini banyak perusahaan yang tidak lagi memberikan bonus sebesar dulu sehingga karyawan merasa bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara yang melakukan pekerjaan secukupnya dengan yang lembur. Mereka juga merasa mengorbankan kehidupan pribadi tidak sebanding dengan pujian atau apresiasi dari kantor. Jika mengacu pada pandangan dari self-determination theory (Deci & Ryan, 1985) kondisi ini menggambarkan hilangnya motivasi intrinsik karena tidak terpenuhinya kebutuhan dasar psikologis seperti autonomi, kompetensi, dan keterhubungan sosial. Karyawan mulai menilai bahwa mempertahankan batas profesionalisme sambil menjaga kesehatan mental dan relasi sosial lebih penting daripada mengejar pengakuan di tempat kerja. 

Dengan quiet quitting, mereka menjadi punya lebih banyak waktu untuk mengeksplor hobi, bertemu teman, traveling, atau sekedar beristirahat dengan tetap mempertahankan pekerjaan mereka tanpa harus resign. Mereka juga cukup puas dengan gaji dan kinerja mereka di perusahaan sehingga tidak merasa perlu untuk memberikan segalanya bagi perusahaan. Hal ini mencerminkan pergeseran nilai kerja di kalangan Gen Z dan millennial, yang lebih mengutamakan makna, fleksibilitas serta keseimbangan hidup daripada status atau posisi jabatan.

Pergeseran budaya ini disebutkan menjadi perubahan yang baik karena dengan lebih banyaknya waktu luang, para karyawan mungkin akan lebih banyak menghabiskan uang dan membantu perputaran perekonomian. Selain itu, bertemu dengan pasangan atau teman juga dapat membantu meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan tingkat stress, khususnya di Jepang. Sejak tahun 2024, kasus bunuh diri akibat tekanan di tempat kerja di Jepang menurun signifikan dikarenakan anak muda sekarang merasa memiliki pilihan untuk bisa punya waktu bagi diri sendiri dan hidup lebih bahagia. Quiet quitting menjadi bentuk strategi perlindungan diri sebagai upaya untuk menjaga integritas diri di tengah sistem kerja yang belum sepenuhnya mendukung kesejahteraan karyawan.


Quiet quitting: menguntungkan atau merugikan? 
Di satu sisi, quiet quitting dapat menurunkan produktivitas kerja yang pastinya dapat merugikan perusahaan. Apabila karyawan tidak lagi tertarik dengan jenjang karir, tidak engage dengan kegiatan perusahaan, dan bahkan tidak lagi memberikan ide inovasi bagi kemajuan perusahaan, hal-hal ini tentu akan menyulitkan para pimpinan. Maka dari itu, berikut adalah cara yang bisa dilakukan oleh perusahaan untuk menangani quite quitting:
  • Mulailah dengan mengevaluasi kinerja dan keterlibatan para manajer dalam mendukung kerja para staff-nya, mulai dari skill maupun resources agar karyawan juga memiliki arah serta pengertian yang cukup jelas mengenai pekerjaannya. Dalam psikologi organisasi, peran atasan sangat berpengaruh terhadap employee engagement. Kurangnya coaching atau dukungan dari atasan dapat mempercepat proses disengagement dan penarikan diri secara emosional dari pekerjaan.
  • Pastikan para manajer memiliki kemampuan untuk membantu karyawan dalam mengurangi stress dan burnout. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan “Mental Health First Aid” pada para manajer atau pimpinan. Perusahaan bisa mulai menerapkan hybrid working atau adanya pilihan WFA (Work from Anywhere). Metode ini dapat membantu para karyawan mencari suasana baru yang dirasa lebih nyaman dan stress-free sehingga konsentrasinya dalam bekerja juga dapat meningkat. 
  • Budayakan memberikan reward dan penghargaan pada pencapaian karyawan. Dengan cara ini, karyawan akan memberikan effort yang juga sepadan dengan penghargaan yang diterimanya. Penguatan positif ini selaras dengan teori motivasi, dimana penghargaan dan apresiasi berperan penting dalam memenuhi kebutuhan psikologis akan kompetensi serta dapat semakin memperkuat keterikatan emosional karyawan terhadap organisasi.
Budaya quiet quitting seharusnya bisa menjadi pengingat bagi kita semua bahwa komunikasi terbuka tentang kesulitan kerja perlu dibangun, baik dari karyawan kepada perusahaan, maupun dari perusahaan yang semakin perlu belajar peka dan responsif terhadap kebutuhan dan kesejahteraan para karyawannya. Komunikasi dua arah ini penting untuk membangun iklim psikologis yang aman, dimana karyawan menjadi merasa didengar, dihargai, dan merasa aman mengungkapkan tantangan dan hambatan yang mereka hadapi dalam bekerja. Dengan adanya lingkungan kerja yang sehat, maka karyawan dan perusahaan pun akan saling bersinergi demi kemajuan bersama. Organisasi yang mampu merespons kebutuhan psikologis karyawannya akan cenderung memiliki tingkat retensi, kepuasan kerja, dan produktivitas yang lebih tinggi dalam jangka panjang.

Ditulis oleh

Maria Grace, S.Psi & Desy Kurnia Lestari, M.Psi., Psikolog