Katanya, kalau ingin tahu sifat asli seseorang, lihatlah saat ia sedang marah.
Pernah nggak sih, Gromers, kepikiran kenapa bisa begitu?
Benarkah cara seseorang marah bisa menunjukkan siapa dirinya sebenarnya?
Menurut Paul Ekman, di antara berbagai emosi yang kita miliki, marah adalah salah satu yang paling berbahaya—terutama dalam situasi ekstrem, karena bisa memicu tindakan kekerasan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Tak heran, marah sering dijadikan tolok ukur untuk menilai tingkat kedewasaan seseorang, baik secara emosional maupun sosial. Itulah kenapa penting bagi kita untuk belajar mengenali dan mengelola kemarahan dengan baik.
Tapi jangan salah, marah juga punya sisi positif, lho. Sama seperti emosi lainnya, marah bisa membawa manfaat—kalau kita tahu cara memahaminya. Yuk, kita kenalan lebih dalam dengan emosi marah lewat artikel ini!
Apa itu marah?
Marah adalah emosi yang muncul ketika kenyataan tidak berjalan sesuai harapan—ada ketidakadilan, pelanggaran, atau perlakuan yang tidak layak. Misalnya saat kita diperlakukan buruk oleh rekan kerja, diserobot di jalan, ditinggalkan oleh orang terdekat, atau menyaksikan seseorang melanggar aturan.
Rasa marah juga bisa muncul saat orang lain melanggar batasan yang telah kita tetapkan untuk diri sendiri. Bahkan, marah sering kali menjadi wajah dari emosi lain seperti takut, kecewa, atau sedih.
Apakah marah itu normal? Tentu saja. Semua orang berhak merasa dan mengekspresikan kemarahannya. Tapi penting untuk diingat, marah yang tidak terkontrol bisa merugikan—baik bagi diri sendiri maupun dalam hubungan dengan orang lain. Maka, bukan soal boleh atau tidak marah, tapi bagaimana kita memilih untuk menyalurkan emosi itu dengan cara yang sehat.
Mengapa marah terasa melegakan?
Kalau bisa diibaratkan, marah itu seperti gunung berapi yang akhirnya meletus. Ketika emosi yang kita pendam selama ini akhirnya keluar, ada sensasi lega—seolah beban yang menyesakkan kepala ikut tumpah bersama letusan itu. Tapi mengapa marah bisa terasa selega itu?
Dalam kasus-kasus besar seperti kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, korupsi, atau pelanggaran moral lainnya, rasa marah sering menjadi cara kita menunjukkan empati dan nilai moral. Dengan menunjukkan kemarahan, kita menyampaikan bahwa kita tidak setuju dengan perilaku tersebut. Secara sosial, ini menempatkan kita pada posisi yang dianggap “lebih bermoral” dibanding pelaku.
Menariknya, dalam kehidupan sehari-hari, marah juga sering kali menjadi cara tidak sadar untuk merasa lebih unggul atau “berhak” atas situasi tertentu. Entah itu terhadap seseorang yang kita anggap bersalah, atau terhadap kondisi yang tidak sesuai harapan, marah memberi sensasi kuasa. Dan mungkin, justru perasaan berada di posisi yang lebih tinggi inilah yang membuat marah terasa begitu memuaskan.