“Ya, sebenernya sih gue gak terima ya, tapi yaudahlah, daripada ribut”
“Gue mulu yang ngalah tapi terserah dia aja lah, males ribut”
“Kalo gue ngomong, ntar jadi panjang masalahnya, biarin aja”
“Ngapain ngomong? Biar aja dia sadar sendiri kesalahannya!”
“Yaudah”, “gak papa”, “terserah”, “biarin aja”. Kata-kata singkat dan sederhana yang ternyata bisa bikin kekesalan berubah jadi kemarahan, sampai kebencian menetap selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bertahun-tahun. Bukan cuma sama pasangan loh, kemarahan yang terpendam ini bisa dirasakan juga pada teman maupun keluarga.
Sebuah konstruk, yaitu silent resentment menggambarkan keadaan ini, dimana seseorang mengalami kebencian yang dipendam terhadap seseorang sebagai hasil akumulasi dari adanya emosi atau masalah yang tidak dikomunikasikan. Hal ini juga bisa terjadi ketika ada ekspektasi atau harapan yang tidak terpenuhi oleh satu sama lain, namun memilih untuk diam dan tidak membahas karena takut menghadapi konflik.
Salah satu penyebab lain dari muncul silent resentment adalah “over-explaining/over-communicating”. Mungkin ada yang berpikir, “Loh bukannya bagus ya kalau mau menjelaskan dan mengkomunikasikan?” Betul bahwa kunci agar tidak ada kekesalan atau emosi yang terpendam adalah dengan membicarakannya, namun ketika kamu dengan pasangan/teman/keluarga secara terus menerus membahas suatu masalah atau konflik tanpa benar-benar fokus pada penyelesaiannya, hal ini malah akan semakin terkesan sebagai konflik yang berkepanjangan. Maka dari itu, penting untuk bisa memahami bagaimana cara yang tepat untuk membahas konflik dengan sehat
Sebelum masuk ke bagian itu, yuk sama-sama kita lihat bagaimana silent resentment dapat mempengaruhi hubungan melalui contoh kasus. Aku coba rangkum dari Psychology Today, ya!
Kamu merasa kesal dengan pacarmu karena ia tidak mengabari sejak pagi. Tidak adanya kabar dari dia membuat kamu merasa khawatir dan bertanya-tanya. Kamu juga berharap dia setidaknya memberikan info bahwa ia akan sibuk sehingga mungkin tidak sempat mengabari. Kamu ingin mengajaknya bicara, namun kamu takut terlalu dianggap posesif dan tidak pengertian. Akhirnya kamu memilih untuk diam dan tidak membahas masalah ini. Lama kelamaan, masalah seperti ini menjadi sering terulang dan rasa khawatirmu akhirnya berubah menjadi rasa marah
Rasa marah tersebut akhirnya mengubah perspektif terhadap pacarmu. Kamu mulai berpikir bahwa sejak awal pacarmu tidak menganggap kamu penting untuk dikabari. Kamu juga melihat bahwa pacarmu tidak pernah memperhatikan perasaanmu. Akhirnya, kamu tidak bisa lagi merasakan adanya cinta melainkan hanya sekedar ada kalau dibutuhkan saja.
Setelah adanya rasa kesal yang berkembang jadi rasa benci dan perspektif yang sudah berubah, hubunganmu akhirnya sampai pada titik kerapuhan. Kamu dan pasangan sudah tidak lagi memiliki kedekatan penuh secara fisik dan emosional, hubungan terasa hambar, pembicaraan sudah tidak lagi dalam. Mungkin kamu dan pasangan sama-sama tahu ada yang harus diselesaikan, namun sama-sama takut untuk menghadapi konflik yang pasti akan muncul