Mengenal Siklus Domestic Violence Lewat Film
mengenal-siklus-domestic-violence-lewat-film-it-ends-with-us

Mengenal Siklus Domestic Violence Lewat Film "It Ends With Us"

Hallo Gromers!

Akhir-akhir ini, sosial media kita diramaikan dengan berita kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh seorang selebgram. Kasus KDRT di Indonesia bukanlah hal yang jarang terdengar. Terhitung tanggal 14 Agustus 2024, ada sebanyak 9.503 kasus KDRT dari 15.490 kasus kekerasan yang dilaporkan dan dicatat oleh Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) pada tahun 2024.


Tidak bisa dipungkiri bahwa konflik dalam pernikahan pasti terjadi. Fase awal pernikahan yang menyenangkan tidak jarang malah berujung pada tragedi kekerasan yang bertolak belakang dengan tujuan dari sebuah hubungan untuk saling mengasihi. Seperti yang digambarkan dalam film It Ends With Us, film rilisan 2024 yang diadaptasi dari novel karya Colleen Hoover. It Ends With Us mengisahkan Lily Bloom yang sedang menata kembali hidupnya di Boston sebagai bentuk usahanya melepaskan diri dari trauma masa kecil. Ketika hidup mulai berjalan dengan baik, pertemuan tidak sengaja dengan Ryle Kincaid membawanya pada hubungan yang romantis namun mengejutkan. Sikap Ryle yang manis dan menawan ternyata menyembunyikan sisi lain yang kasar dan manipulatif.  

Pada artikel ini, kita akan sama-sama belajar mengenai siklus dan tanda awal domestic violence melalui film It Ends With Us. Yuk, mari kita bahas sama-sama!


Apa itu domestic violence?

Domestic violence didefinisikan sebagai perilaku kekerasan yang dimana pelaku (anggota keluarga) merasa memiliki kekuatan diatas anggota keluarga lainnya sehingga menggunakannya untuk mendominasi dan mengeksploitasi anggota keluarga yang lebih lemah dan menyebabkan penderitaan atau kesengsaraan. 

Siklus domestic violence

Tindakan domestic violence biasanya terjadi dalam sebuah siklus yang terdiri dari 4 tahapan yang digambarkan dengan sangat jelas pada hubungan Lily dan Ryle, yaitu:

  1. Harmoni (harmony)

Saat memulai hubungan dengan seseorang, seringkali baik kita maupun pasangan akan cenderung melihat atau memperlihatkan sisi terbaik satu sama lain, dan semua kekurangan terlihat tidak penting. Hubungan Lily dan Ryle dimulai dengan berbagai momen manis. Ryle menunjukkan sikap yang menyenangkan, ia masak untuk Lily, membelikan bunga, mereka menari dan menyanyi bersama, dan puncaknya, ia melamar Lily dengan cara yang paling spontan dan romantis. Ryle terlihat menggunakan taktik “love bombing” untuk bisa mendapatkan hati Lily dan dia berhasil. 

  1. Ketegangan (tension building

Adanya konflik dalam hubunganlah yang akan menjadi pemicu munculnya sifat asli seseorang. Pada hubungan yang abusive, konflik skala kecil saja dapat membuat pelaku mudah marah dan argumentatif serta menjadi awal mula dari kekerasan secara verbal. Pelaku akan merendahkan dan menuduh korban untuk menunjukkan kecemburuannya. Di sisi lain, korban mulai berhati-hati dan menjaga diri dalam bertindak, cenderung menutup diri karena tidak mau mengecewakan perasaan pelaku serta menghindari tindakan kekerasan. Dalam perjalanan hubungan Lily dan Ryle, Ryle mulai menunjukkan sifat cemburuan, pemaksa, posesif, kasar dan mudah emosi. Kedatangan Atlas sebagai cinta pertama Lily juga menambahkan ketegangan dalam hubungan keduanya. Hal ini semakin menjadi tanda yang  jelas akan munculnya potensi tindakan kekerasan. Sayangnya, dinamika dalam hubungan mereka ini disalahartikan oleh Lily sebagai bentuk rasa cinta Ryle kepadanya. 

  1. Insiden kekerasan/violence

Perilaku kekerasan dalam rumah tangga biasanya didahului dengan kekerasan emosional dan psikologis, baru diikuti dengan fisik dan seksual. Meskipun fase ini berlangsung paling singkat diantara fase lainnya, namun tingkat bahayanya paling merugikan dan mengkhawatirkan. Tindakan kekerasan pertama yang dapat kita saksikan pada film adalah ketika Ryle memukul Lily saat Lily ingin membantu Ryle. Insiden ini memang tidak terlihat seperti apa yang sebenarnya terjadi karena Ryle pun juga terluka pada momen itu. Namun, toleransi pertama ini membawa Lily kepada tindakan-tindakan Ryle lainnya. Selanjutnya, tindakan kedua adalah saat Ryle mendorong Lily dari tangga saat Ryle marah karena Lily mengejarnya. Tidak hanya itu, Ryle juga secara sadar memaksa Lily untuk menciumnya, menyerang secara seksual serta mengigit bahu Lily. Tindakan kekerasan yang dilakukan semakin memburuk seiring dengan meningkatnya rasa insecure dan cemburu dalam diri Ryle. 

  1. Rekonsiliasi/honeymoon phase

Pada fase ini, pelaku akan menunjukkan rasa penyesalan akan tindakannya. Ia akan mengucapkan maaf berulang kali dan berjanji tidak akan mengulangi perilakunya serta menunjukkan kasih sayang secara terbuka pada korban. Pelaku domestic violence akan memanipulasi korban secara psikologis bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan adalah perwujudan kasih pelaku pada korban. Dampaknya, korban dapat mempercayai hal itu dan memaafkan perbuatan pelaku.  Hal ini pun dilakukan oleh Lily dan Ryle. Setiap perbuatan kekerasan yang dilakukan oleh Ryle diakhiri dengan permintaan maaf yang memohon dan lembut, bahkan Ryle memanfaatkan situasi untuk memanipulasi Lily sehingga ia berpikir bahwa insiden yang ia alami disebabkan karena kecerobohannya sendiri. Ryle dapat kembali bertransformasi menjadi pria yang hangat dan bisa merawat Lily. Ungkapan cinta juga disebutkan sehingga akhirnya Lily bisa memaafkan dan melupakan apa yang baru saja menimpanya. 


Siklus domestic violence ini dapat terjadi dalam hitungan minggu, bulan, bahkan bertahun-tahun yang menyebabkan korban tidak berdaya dan terperangkap. Trauma yang diakibatkan oleh domestic violence perlu ditangani sedini mungkin. Apabila tidak, maka hal ini akan berdampak sangat besar pada kesehatan mental korban. Korban akan kehilangan makna, semangat, dan motivasi untuk hidup. Kebimbangannya antara bertahan atau mencari bantuan akan mengarahkan korban pada kecemasan, trauma, depresi, penyalahgunaan obat, dan bahkan keinginan untuk mengakhiri hidup. Hal ini mengakibatkan munculnya kesulitan pada korban untuk punya rasa percaya, intimasi, dan komunikasi yang sehat pada bentuk hubungan lainnya. 


Setelah mengetahui siklus dan tanda domestic violence, dapat dilihat bahwa memiliki kesejahteraan psikologis bagi korban domestic violence merupakan tantangan yang besar, namun hal ini bisa dicapai dengan bantuan dukungan sosial dan intervensi psikologis. Layanan konseling, terapi kelompok, dan program pemberdayaan diri yang disediakan oleh biro psikologi dapat menjadi salah satu pilihan untuk pulih dari trauma tersebut. Gromer, selalu ingat ya bahwa dirimu berharga dan berhak untuk dicintai dan berbahagia. Jika saat ini kamu sedang galau ataupun orang-orang disekitarmu sedang dalam situasi yang digambarkan seperti artikel ini, jangan terus terpuruk dan berdiam diri ya, yuk cerita karena Grome selalu ada dan siap untuk membantu kamu dan memberikan solusi terbaik untuk setiap permasalahan yang sedang kamu hadapi. Jangan ragu untuk Hubungi kami sekarang juga untuk informasi selengkapnya tentang layanan konseling kami